Penghayat Kepercayaan Mendapat Tempat di KTP

Para penghayat kepercayaan bersalaman setelah Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
(Sumber foto: metrotvnews.com)
Penghayat kepercayaan mendapatkan pengakuan negara dalam sistem administrasi kependudukan. Ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Dalam amar putusannya, majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Kata itu juga disebut tak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa 7 November 2017, seperti dilansir dari metrotvnews.com.
 Permohonan uji materi dengan perkara 97/PUU-XIV/2016 itu diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Para pemohon merupakan penghayat kepercayaan dari berbagai komunitas kepercayaan di Indonesia (Sunda Wiwitan, Batak Parmalim dan Sapto Darmo. - Catatan dari Dr. Igor Popov, LLM). Pemohon mempersoalkan aturan UU Adminduk yang mengakibatkan status mereka sebagai penghayat kepercayaan tidak diakui dalam sistem administrasi kependudukan. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Adminduk misalnya, disebutkan bahwa keterangan mengenai kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Aturan tersebut menyebabkan kolom agama pada KTP dan Kartu Keluarga (KK) milik para penghayat dikosongkan oleh petugas administrasi kependudukan. Dengan putusan MK ini, status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan KTP.
 "Agar tertib administrasi kependudukan dapat terwujud," kata Ariel. Keputusan ini juga dikabulkan mengingat jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia sangat banyak dan beragam. Ditemui usai sidang, Arnol Purba mengaku lega permohonan dia dan rekan-rekannya diterima MK. Menurut dia, selama ini komunitas penghayat kepercayaan kerap mengalami diskriminasi karena tidak mendapat pengakuan negara terhadap keberadaan mereka dalam sistem administrasi kependudukan. "Kami sangat senang. Dengan putusan ini, kepercayaan itu telah diakui oleh pemerintah dan ruang lingkupnya untuk pekerjaan anak-anak saya itu terbuka," ujar penghayat kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera Utara itu. Senada, kuasa hukum para pemohon, Jubianto Simanjuntak, mengapresiasi putusan tersebut. "Kita harap dengan adanya putusan MK ini aparat pemerintah di mana pun menghormati putusan MK karena sudah final dan berkekuatan hukum tetap," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar