Penganut Agama Leluhur: Sakitnya Kami Selalu Diperlakukan Beda...

Upacara Parmalim Sipaha Lima, Hutatinggi (Sumber foto: medanbisnisdaily.com)
Rosni Simarmata (40), warga Jalan Binjai Km 7,5 Pasar I Gang Karya, Kelurahan Cintadamai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan, adalah pribadi yang ramah dan periang. Dia selalu tertawa setiap kali bercerita. Namun, saat diajak bercerita soal keyakinannya memeluk agama leluhurnya, Ugamo Bangso Batak, perempuan berambut panjang itu merendahkan suaranya.
Dia memperhatikan Kompas.com yang duduk di depannya, seolah-olah menyakinkan dirinya bahwa dia tidak bertemu orang yang salah. Sikap kehati-hatian inilah yang dianggap banyak orang sebagai benteng untuk membatasi diri mereka dengan dunia luar dan sebagai bentuk eksklusivitas yang dibangun para komunitas penganut agama leluhur. Rosni mengakui, lebih baik mereka dibilang takut untuk menangkal banyaknya stigma yang merundung mereka."Orangtuaku, nenek ku, menyampaikan rasa terima kasih kepada leluhurnya dengan memberikan sesajen. Sama seperti aku, kalau ada rezekiku, aku akan memberikan sesajen. Kenapa? Ini caraku menghargai orangtuaku sampai akhir hayatku," katanya mulai bercerita, Sabtu (2/12/2017). Inilah yang didalami para penghayat, mengamalkan pesan-pesan dari leluhurnya. Kalau masyarakat menyebut komunitasnya Sipelebegu (memberikan sesaji kepada roh), Rosni menerimanya dengan maklum karena mereka tidak mengetahuinya.
 Pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui keberadaan para penganut agama leluhur di Indonesia, Rosni mengaku lebih tenang. "Sekarang penghayat lagi viral, semua media lagi berlomba-lomba membuat beritanya. Pesanku, buatlah berita yang membuat masyarakat paham siapa kami, tidak salah mengartikan kami. Kita semua punya keyakinan berbeda dan cara sendiri untuk menghargai orangtua dan leluhur kita, saya yakin itu..." ucapnya. "Kurasa di Islam juga ada. Kalau meninggal, ada yang 100 hari, 40 hari, ini, kan, cara mengingat orangtua. Tapi yang paling penting diketahui adalah penderitaan kami, sakitnya kami yang selalu diperlakukan beda," kata Rosni, wajahnya mulai sendu. Sambil menahan air matanya yang mulai berjatuhan, dia berujar, "Kami banting tulang mengumpulkan receh-recahan, jadi kuli bangunan untuk menyekolahkan anak-anak kami setinggi-tingginya. Selesai wisuda, pas melamar kerja tak diterima karena kolom agama di KTP kosong. Bisa kalian bayangkan sakitnya? Menetes air mata ini..." Kesakitan tidak sampai di situ. Membuka rekening di bank pun tidak bisa, padahal yang ditabung uang sendiri. Rosni ingin pemberitaan membuka mata semua orang, terutama instansi terkait, bahwa tidak ada hubungannya keyakinan mereka dengan pekerjaan yang bisa mereka lakukan. "Karena mereka penghayat, tidak ada pekerjaan buat mereka, kenapa? Apa hubungannya agama dengan pekerjaan? Kenapa setiap penghayat membuat tanda garis di KTP-nya, selalu dikucilkan," tanyanya dengan mata nanar. 
 Sementara itu, Wanri Lumbanraja (28), penganut agama leluhur Parmalim, mengaku sudah kebal dengan berbagai perlakukan diskriminatif terhadap para penghayat. Sampai-sampai dirinya tidak menyadari kalau sudah diperlakukan berbeda. Dia mencontohkan, saat duduk di bangku SMA, Wanri harus memilih salah satu agama yang diakui negara untuk mendapatkan nilai agama. "Saya terpaksa harus ke gereja untuk mengisi buku kebaktian minggu, demi nilai," kata Wanri. Ditanya soal putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP, baginya hanya bonus. Dirinya mengapresiasi perubahan pola pikir dan cara pandang pemerintah yang sudah terbuka dan mengakui keberadaan para penganut agama kepercayaan. "Paling utama sebenarnya bukan bisa atau tidak dibubuhkan di KTP. Saya memandang dari segi penghayat, pemerintah sudah lebih baik menerima kami. Artinya, keberagaman di Indonesia semakin bagus. Harapannya, putusan itu segera diimplementasi, disosialisasikan, dan diarsipkan dalam adminduk mulai pemerintahan pusat sampai tingkat yang paling rendah," ucapnya. Wanri menginginkan, jika pemerintah memiliki sumber daya yang banyak, dia ingin kolom agama di KTP dan KK ditulis sesuai agama yang dianut. "Misalnya saya Parmalim, ya ditulis Parmalim, jangan penghayat kepercayaan saja. Supaya kerja pemerintah juga tidak tanggung-tanggung, kami pun tenang. Artinya kami benar-benar diakui dan terdata di negara ini," ujarnya. Sementara dalam putusan MK, dalam kolom agama di KTP dan KK, cukup dituliskan "penghayat kepercayaan" tanpa merinci kepercayaan apa yang dianut. Hal itu, menurut MK, untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan. Pasalnya, jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.
 Aliansi Sumut Bersatu (ASB), lembaga yang peduli dengan isu-isu pluralisme, sejak Maret 2015 mendampingi Parmalim dan Ugamo Bangso Batak. Pendampingan dilakukan bersama bersama Yayasan Satunama lewat Program Peduli. Program Peduli adalah kegiatan nasional yang berlangsung di 80 kabupaten dan kota di Indonesia. Targetnya adalah pemenuhan hak-hak para penganut agama leluhur. "Wilayah kerja kami di Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang. Kami ingin kawan-kawan penganut agama leluhur terpenuhi hak-haknya. Kami berjuang agar semua orang terutama kaum minoritas diperlakukan setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara," kata Ferry Wira Padang, Deputy Direktur ASB. Sesuai data ASB,  5.026 jiwa atau 0,14 persen dari 12.985.075 jiwa penduduk Sumatera Utara adalah penganut agama leluhur. Untuk Parmalim, penganutnya tersebar di Kota Medan, Kabupaten Simalungun, Samosir, Tapanuli Utara, dan di Desa Hutatinggi, Kabuten Tobasamosir. Di Kota Medan ada 373 jiwa penganut Parmalim yang tersebar di 10 kecamatan, mulai Medan Amplas, Patumbak, Medan Kota, Medan Denai, Medan Marelan, Tanjung Morawa, Medan Labuhan, dan Medan Belawan. Sebagian masuk wilayah Kabupaten Deliserdang, yaitu Kecamatan Sunggal dan Percut Seituan. Sementara Ugamo Bangso Batak (UBB), tersebar di Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Samosir dan Kota Tanjungbalai. Jumlahnya sekitar 100-an jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar